Pontianak, 16 Desember-– Perayaan Hari Pantun Dunia (Harpandu) dan Hari Pantun Nasional (Hartunas) yang berlangsung khidmat di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat menjadi panggung penegasan pentingnya menjaga warisan leluhur. Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) sekaligus Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Kalbar, Prof. Dr. H. Chairil Effendy, M.S., dalam laporannya menekankan bahwa pantun bukan sekadar susunan rima, melainkan jati diri yang mengangkat harkat bangsa Melayu di mata dunia.
Dalam narasi sejarah yang disampaikannya, Prof. Chairil mengenang titik balik perjuangan pantun pada 17 Desember 2020. Kala itu, di tengah hantaman pandemi, komunitas budaya di Kalbar tetap bergerak menyelenggarakan festival pantun nonstop selama 16 jam secara virtual. Langkah berani ini merupakan bentuk dukungan nyata terhadap sidang UNESCO di Paris yang akhirnya menetapkan pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) milik bersama Indonesia dan Malaysia.
“Pengakuan UNESCO adalah amanah besar bagi kita semua. Perayaan tahun ini merupakan kali ketiga kita melaksanakannya di Kalbar untuk memastikan denyut pantun tetap hidup,” ujar Prof. Chairil. Ia menjelaskan bahwa inisiasi yang dimulai dari Kalimantan Barat dan Riau ini telah membuahkan hasil dengan terbitnya Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 163/M/2025 yang meresmikan tanggal 17 Desember sebagai Hari Pantun Nasional.
Lebih lanjut, Prof. Chairil menyoroti transformasi luar biasa pantun di era modern. Jika dahulu pantun identik dengan tradisi lisan di dusun-dusun terpencil, kini pantun telah merambah ruang-ruang elite seperti istana, kantor kementerian, hingga gedung pencakar langit. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk adaptasi pantun yang sangat dinamis, di mana pantun kini menjadi medium efektif untuk literasi keuangan, lingkungan, hingga diplomasi internasional.
Kekuatan pantun sebagai perekat sosial juga menjadi poin penting dalam sambutannya. Menurutnya, pantun adalah instrumen komunikasi yang memungkinkan pesan tersampaikan tanpa melukai, penuh dengan kehalusan budi pekerti. Ia menegaskan bahwa melalui pantun, nilai-nilai kearifan lokal Nusantara dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai benteng karakter bangsa di tengah arus globalisasi yang kencang.
Prof. Chairil juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas kolaborasi harmonis antara MABM, ATL, Binabud, dan Serumpun Berpantun, serta dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Baginya, keterlibatan aktif semua pihak adalah jaminan bahwa pantun tidak akan pernah punah dari Bumi Khatulistiwa.
Menutup sambutannya, Prof. Chairil melantunkan bait pantun legendaris yang menggetarkan semangat para hadirin: “Kalau tidak karena tenun, tidak cual menjadi baju. Kalau tidak karena pantun, tidak terkenal bangsa Melayu.” Bait ini menjadi pengingat bagi seluruh tamu undangan bahwa selama pantun masih dijunjung, maka marwah dan identitas bangsa akan tetap berdiri teguh.